Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.
Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).
Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.
Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.
Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”
Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”
Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.
Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.
Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.
Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.
Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !
Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.
Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.
Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.
Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.
Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.
Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.
Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi. Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’ kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing.
Kalu mau memasak barang (sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata “..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’ bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir (tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah), bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor (dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.
http://yohanessupriyadi.blogspot.com
This entry was posted on Kamis, 20 Januari 2011 at Kamis, Januari 20, 2011 and is filed under Cerita Rakyat. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response.