Asal Usul dan Arti Nama Bengkayang
Bagi masyarakat Kalimantan Barat, Bengkayang merupakan kata yang sering didengar bahkan sering diucapkan, karena Bengkayang telah ada sejak zaman Kesultanan Sambas dan zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, Bengkayang merupakan salah satu Kabupaten di propinsi Kalimantan Barat ini, yang dibentuk pada tahun 1999. Akan tetapi sampai saat ini belum jelas asal usul dan arti nama Bengkayang. Mengapa daerah ini dinamakan Bengkayang? Oleh karena itu sub-bab ini menjadi sangat penting untuk menemukan asal kata dan arti Bengkayang. Dengan demikian, maka Bengkayang dapat dipahami secara etimologis sebagai dasar filosofi bagi pembangunan Kabupaten Bengkayang.
Asal usul dan arti nama Bengkayang masih dalam proses pencarian. Bengkayang bagi sebagian orang merupakan perkataan yang jarang didengar dan bahkan ada yang menganggapnya karena salah dengar atau salah ucap semata. Hal itu mungkin disebabkan kelangkaan literatur tentang Bengkayang yang dapat diakses oleh segenap masyarakat di negeri ini. Sampai saat ini belum ditemukan asal kata Bengkayang dari bahasa apa dan apa artinya yang sesungguhnya. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “bengkayang” berarti keras mangkas, keras perutnya (terlalu kenyang dsb). Akan tetapi, Poerwadarminta, dalam kamus tersebut memberikan tanda bahwa kata Bengkayang disangsikan (mungkin karena salah dengar, salah tulis, salah baca dan sebagainya), jarang dipakai (hanya hidup dalam bahasa lingkungan atau daerah), sudah usang atau mati, atau hanya hidup beberapa lamanya lalu tenggelam.
Dari sumber yang penulis himpun, terdapat beberapa versi dalam mengartikan istilah Bengkayang. Menurut versi sesepuh masyarakat Bengkayang bahwa kata Bengkayang berasal dari perkataan Bangkai Bujang. Ketika itu masyarakat pendatang dan suku asli (Dayak) suka berkelahi lalu bangkainya (mayat) dibuang ke sungai.
Versi lain juga menyebutkan bahwa kata Bengkayang berasal dari sebutan Begayang dari bahasa Dayak Bekati’ yang berarti berjalan, berjalan-jalan. Orang Dayak suka keluar kampung dengan cara berjalan kaki, kemudian suatu saat di tengah perjalanan bertemu dengan tentara Belanda. Tentara Belanda tersebut bertanya kepada orang kampung yang berjalan, .. kalian orang mau kemana? Lalu dijawab begayang (berjalan) tuan… Lidah orang Belanda kurang pasih mengucapkan kata Begayang, lalu diucapkannya, o… Bengkayang. Sampai akhirnya sebutan Bengkayang melekat dan akrab ditelinga masyarakat pada waktu itu hingga sekarang.
Dalam bahasa Cina Khek, Bengkayang lebih dikenal dengan sebutan Tainam atau Lala. Lala asal kata Rara, karena dialek masyarakat Tionghoa tidak bisa menyebut huruf r, lalu disebut Lala. Rara sebutan dari masyarakat Dayak Bekati adalah sebuah kampung ujung Sebalo di bawah pegunungan (Tiga Desa) lebih kurang 12 km dari kota Bengkayang. Awal mula terbentuknya kota Bengkayang berasal dari pasar Sebalo lalu pindah ke Selenci kemudian setelah Belanda (VOC) datang pindah ke Bengkayang. Pusat perdagangan sebelum Bengkayang ketika itu ada di Ledo. Orang China datang ke Bengkayang bersamaan dengan kedatangan VOC melalui Sambas lewat Ledo dan Sebalo melalui sungai ke Selence dan akhirnya menetap di Bengkayang. Orang kampung Sebalo jika akan belanja melewati sungai atau lewat lereng gunung dengan mengendarai kuda.
Asal usul dan arti nama Bengkayang masih dalam proses pencarian. Bengkayang bagi sebagian orang merupakan perkataan yang jarang didengar dan bahkan ada yang menganggapnya karena salah dengar atau salah ucap semata. Hal itu mungkin disebabkan kelangkaan literatur tentang Bengkayang yang dapat diakses oleh segenap masyarakat di negeri ini. Sampai saat ini belum ditemukan asal kata Bengkayang dari bahasa apa dan apa artinya yang sesungguhnya. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “bengkayang” berarti keras mangkas, keras perutnya (terlalu kenyang dsb). Akan tetapi, Poerwadarminta, dalam kamus tersebut memberikan tanda bahwa kata Bengkayang disangsikan (mungkin karena salah dengar, salah tulis, salah baca dan sebagainya), jarang dipakai (hanya hidup dalam bahasa lingkungan atau daerah), sudah usang atau mati, atau hanya hidup beberapa lamanya lalu tenggelam.
Dari sumber yang penulis himpun, terdapat beberapa versi dalam mengartikan istilah Bengkayang. Menurut versi sesepuh masyarakat Bengkayang bahwa kata Bengkayang berasal dari perkataan Bangkai Bujang. Ketika itu masyarakat pendatang dan suku asli (Dayak) suka berkelahi lalu bangkainya (mayat) dibuang ke sungai.
Versi lain juga menyebutkan bahwa kata Bengkayang berasal dari sebutan Begayang dari bahasa Dayak Bekati’ yang berarti berjalan, berjalan-jalan. Orang Dayak suka keluar kampung dengan cara berjalan kaki, kemudian suatu saat di tengah perjalanan bertemu dengan tentara Belanda. Tentara Belanda tersebut bertanya kepada orang kampung yang berjalan, .. kalian orang mau kemana? Lalu dijawab begayang (berjalan) tuan… Lidah orang Belanda kurang pasih mengucapkan kata Begayang, lalu diucapkannya, o… Bengkayang. Sampai akhirnya sebutan Bengkayang melekat dan akrab ditelinga masyarakat pada waktu itu hingga sekarang.
Dalam bahasa Cina Khek, Bengkayang lebih dikenal dengan sebutan Tainam atau Lala. Lala asal kata Rara, karena dialek masyarakat Tionghoa tidak bisa menyebut huruf r, lalu disebut Lala. Rara sebutan dari masyarakat Dayak Bekati adalah sebuah kampung ujung Sebalo di bawah pegunungan (Tiga Desa) lebih kurang 12 km dari kota Bengkayang. Awal mula terbentuknya kota Bengkayang berasal dari pasar Sebalo lalu pindah ke Selenci kemudian setelah Belanda (VOC) datang pindah ke Bengkayang. Pusat perdagangan sebelum Bengkayang ketika itu ada di Ledo. Orang China datang ke Bengkayang bersamaan dengan kedatangan VOC melalui Sambas lewat Ledo dan Sebalo melalui sungai ke Selence dan akhirnya menetap di Bengkayang. Orang kampung Sebalo jika akan belanja melewati sungai atau lewat lereng gunung dengan mengendarai kuda.
Berdirinya Kota Bengkayang
Kapan dan bagaimana berdirinya kota Bengkayang pada zaman dahulu kala belum diketahui secara akurat dan objektif. Oleh karena itu, sub-bab ini akan berusaha untuk mengupas secara akurat dan objektif mengenai proses berdirinya kota Bengkayang, baik dari sumber tuturan sejarah maupun catatan/laporan tertulis dari orang-orang yang berkompeten akan hal tersebut.
Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya keabsahan dan kevalidannya, keberadaan kota Bengkayang bermula dari kedatangan warga China pekerja tambang emas di Manterado yang sengaja diundang Sultan Sambas pada tahun 1678 M. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai pekerja tambang emas di Manterado, sebahagian dari mereka ada yang mengembara ke Bengkayang dan sebagian pulang ke negeri asalnya daratan Tiongkok. Sementara itu, jauh sebelum warga China datang ke Bengkayang, sudah ada penduduk asli yakni suku Dayak yang bermukim di pedalaman Bengkayang. Dengan demikian diperkirakan Bengkayang berdiri tahun 1688 M.
Berdasarkan umur Kelentang tertua yang ada di Bengkayang, yaitu Kelenteng Sakjha, diperkirakan istilah kampung Bengkayang sudah dikenal masyarakat sejak tahun 1728 (kurang lebih 280 tahun silam).
Cikal bakal berdirinya Bengkayang berawal dari sungai Sebalo, Tiga Kampung dan Tainam (bahasa Cina Khek). Tainam merupakan ujung sungai Sebalo (hulu air Sebalo). Sungai Sebalo dahulu sungai besar yang muaranya dari sungai Sambas. Tiga wilayah tersebut adalah tempat bermukimnya warga Dayak dan Melayu serta Cina. Mereka memanfaatkan lereng gunung seperti gunung Sekayok dan gunung Melabo sebagai tempat tinggal dan tempat bercocok tanam. Namun pada tahun 1970 dengan alasan keamanan maka orang kampung yang bermukim di pegunungan diperintahkan turun gunung.
Awalnya Bengkayang merupakan sebuah kampung bagian dari wilayah kerajaan Sambas. Orang pertama yang merintis dan membuka jalan menuju Bengkayang adalah Jerendeng Abdurahman orang Menado. Kampung Bengkayang sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Singkawang dan Monterado. Para penambang dan pedagang yang kebanyakan berasal dari negeri China, setelah mereka menuju Monterado lalu melanjutkan pengembaraannya ke Bengkayang. Sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya. Bengkayang juga sebagai tempat bercocoktanam seperti menanam padi, kebun karet dan dan sayur mayur. Sebab orang China yang datang ke Kalimantan Barat disamping pandai menggarap tambang emas juga ahli dalam bidang pertanian.
Pada tahun 1930 seorang guru kebangsaan Belanda mengajar Ilmu Bumi menyebut ibukota negeri Lara dan Lumar adalah Bengkayang.
sumber : http://insankampus.blogspot.com By Munawar M. Saad
This entry was posted on Minggu, 24 Oktober 2010 at Minggu, Oktober 24, 2010 and is filed under Bengkayang. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response.